Entri Populer
-
Doc Brackett Damon Runyon (1880-1946) Doc Bracken was a dedicated doctor whose memory lived in the hearts of all who knew him and r...
-
Ravi Zacharias “Communicating Truth in a Pluralistic Community” Summary of the Seminar At the door Versailles University, Paris, it i...
-
FLY All this doubt trying to work it out could you lay it down for now it's good to think but it's good to drink fr...
-
One song that keeps on playing on my head recently is My Favorite Things. When I was listening to Yolanda Adams’ version of this song, it...
-
SUCCEEDING WITH DIFFICULT PEOPLE People working at the bottom of an organization usually have no choice concerning whom they work w...
Rabu, 26 Februari 2014
Kamis, 06 Februari 2014
Nana korobi, ya oki.
Ada suatu pepatah yang saya sukai,yang berbunyi seperti ini:
“Nana
korobi, ya oki.”
Sebuah
filosofi Jepang yang juga memiliki suatu pandangan makna yang super yaitu: "Fall seven
times, get up eight."
Siapa
yang tidak pernah jatuh? Siapa yang selalu menang dan sukses di dunia
ini? Kita ambil contoh sederhana dari proses belajar bersepeda. Sekalipun
kita diajarkan bersepeda roda dua secara baik oleh instruktur sebaik apapun,
adalah sudah barang tentu, sebagai murid, kita berkesempatan hilang
keseimbangan dan jatuh. Sakit? Pasti! Kapok? Itu pilihan…
Menyoroti
cerita sukses seorang Bob Sadino dalam sebuah bidang wirausaha tidak serta
merta berarti orang tersebut tak pernah gagal. Suatu kali ketika saya menonton
acara di channel Metro TV, saya menonton pak Bob bercerita tentang
pengalamannya berwirausaha yang penuh dengan jatuh bangun.
See? Jatuh bangun
adalah makanan orang yang ingin sukses.
Berkaca
pada pengalaman pribadi, saya merupakan orang yang bukan tidak pernah gagal.
Malah sebaliknya, saya sering kali harus menelan ‘pil pahit’ kegagalan sebelum
akhirnya dapat sukses di dalam fase-fase tertentu dalam hidup saya. Agaknya pas
apabila saya sedikit share pengalaman pribadi saya pada saat berkuliah
di salah satu universitas Katolik unggulan di Jakarta.
Suatu
kali saya mendaftarkan diri saya mengikuti program pertukaran pelajar ke negara
tujuan Amerika Serikat. Persiapan yang dilakukan agaknya memakan waktu dan
tenaga saya selama kurang lebih dua bulan. Saya sangat ingin pergi untuk
belajar ke AS karena saya ingin menambah pengalaman saya ke sana. Melalui
proses yang panjang untuk mengumpulkan dan melengkapi berkas-berkas dokumen
yang diperlukan seperti surat rekomendasi dari dosen-dosen pengajar, sampai
test bahasa yang harus dilalui membutuhkan pengorbanan yang besar bagi saya.
Namun, harapan saya yang besar itu harus pupus karena saya tidak masuk seleksi
tahap awal. Saya sungguh kecewa dan merasa gagal.
Kisah
terjatuh namun bangkit lagi. (kayak lagu melayuuu… Aku terjatuh dan tak bisa
bangkit lagi.. hehe) Tapi saya belum menyerah, saya mencoba peruntungan saya di
dalam ajang Putra-putri berprestasi mahasiswa dan masuk ke dalam 10 besar.
Bangga sekali rasanya dapat mengharumkan nama keluarga dan juga almamater.
Meskipun tidak menjadi pemenang pertama, saya sangat menghargai pengalaman
tersebut.
Kisah
itu adalah sebagian kisah-kisah pahit-manis (bitter-sweet) dalam menyelesaikan
Strata 1 saya di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Pada akhir tahun 2011,
oleh kasih karunia Tuhan Yesus,saya menyelesaikan pendidikan saya di Atma Jaya
dengan predikat magna-cumlaude. Dan mengapa saya katakan oleh kasih
karunia-Nya? Sebab hanya 3 orang saja dari sekitar 200 lulusan dari FKIP yang
mendapat penghargaan berupa cincin emas, namun menurut cerita dari Wakil Dekan
yang pada saat itu menganugerahkan penghargaan tsb, diputuskanlah bahwa saya
adalah salah seorang dari 3 orang yang beruntung tersebut. Katakanlah
beruntung, karena ada pepatah kuno mengatakan bahwa sebenarnya keberuntungan
adalah hasil karya tangan Tuhan yang ogah membubuhkan ‘tanda tangan-Nya’. Entah
bagaimana ceritanya, meskipun ada empat orang lainnya yang memiliki IPK (indeks
prestasi kumulatif) hampir setara dengan saya atau katakanlah lebih tinggi
beberapa poin, tapi hasil musyawarah dewan pengajar dan dekan memutuskan bahwa
saya pula lah yang berhak menerima penghargaan tersebut.
Demikian
saya memandangnya, dalam setiap situasi yang saya hadapi, saya menganggapnya
sebagai cara Tuhan menenun karya maha agung. Seperti halnya seorang penenun
yang bekerja siang dan malam untuk menjadikan benang-benang terajut menjadi
suatu kain tenun yang indah yang bernilai tinggi, dengan cara seperti itulah
Tuhan mengerjakan apa yang sedang Ia perlu kerjakan di dalam hidup saya. Hari
ini, saya baru sembuh dari sakit typhus dan jujur saja saya masih 3L (lemah,
letih, lesu) … -_-
Pengennya sih bobok2an terus, tapi udah hampir seminggu aja
bedrest di rumah, hari ini saya ngantor. Menyemangati diri sendiri, ayoo Esther
.. “Nana
korobi, ya oki.” *nyeduhh tehh dulu ahh*
BERTULUS-KARYALAH
Bertulus-karyalah
Dentuman musik
Mencari tempat di hati ini
Kadang dalam hidup
Tidak mendapat tempat sedikit pun
Terlalu tertambat kepada kebisingan sekitar
Kadang tercipta dentuman hangat dari siul2 kecilmu
Terkadang dentuman itu berhenti
Tersentak oleh kemuraman hati
Masih bisakah kita jujur untuk bermusik?
Ataukah sudah mustahil untuk bernyanyi dari hati?
Apakah suatu hari kita mampu membawa melodi ini melampaui
bumi?
Mereka bilang bernyanyilah dari hati
Tapi yang jujur dari hati membuahkan kontroversi
Malah yang berpura-pura terapresiasi…
Maukah kau mengucap syair tanpa memaknainya?
Sudah lupakah kau begitu banyak jiwa yang tersentuh oleh
tulusnya aliran musikmu?
Menciptalah…
Berkaryalah…
Bernyanyilah…
Bukan untuk sebuah pujian… tapi…
Kebanggaan
Karena engkaulah maha karya sang Maestro
Yang mencipta dengan terampil tulus tak bercela
Selasa, 10 Desember 2013
SUCCEEDING WITH DIFFICULT PEOPLE
SUCCEEDING WITH DIFFICULT PEOPLE
People working at the bottom of an organization usually have
no choice concerning whom they work with. As a result, they often have to work
with difficult people. In contrast, people at the top almost never have to work
with difficult people because they get to choose who they work with. If someone
they work with becomes difficult, they often let that person go or move him or
her out.
For leaders in the middle, the road is different. They have
some choice in the matter, but not complete control. They may not be able to
get rid of difficult people, but they can often avoid working with them. But
good leaders – ones who learn to lead up, across, and down – find a way to
succeed with people who are hard to work with. Why do they do it? Because it
benefits the organization. How do they do it? They work at finding common
ground and connect with them. And instead of putting these difficult people in
their place, they try to put themselves in their place.
(articles by John C. Maxwell)
Senin, 11 November 2013
Mengajar untuk Belajar
Kemarin malam ketika pulang kantor, saya berkesempatan naik
bus transjakarta menuju rumah. Alhasil perjalanan Daan Mogot-Sunter naik busway
pun bisa dikatakan cukup melelahkan. Namun entah mengapa dalam perjalanan yang memakan waktu kurang
lebih 3 jam tersebut, pikiran saya terfokus pada perjalanan hidup saya
akhir-akhir ini. Sungguh pun melelahkan hari itu, saya mendapat suatu pengalaman
sangat berharga hari ini. Sebagai informasi saja, sudah jalan 5 bulan saya ini
bekerja di salah satu sekolah unggulan
ternama di Jakarta sebagai staff pengembangan pendidikan Bahasa Inggris.
Sungguh adalah satu kesempatan yang baik di mana saya bisa belajar banyak
sebagai seorang lulusan keguruan yang memiliki pengalaman mengajar anak-anak
selama kurun waktu 7 tahun terhitung semenjak saya lulus SMA.
Dalam mengajar, tentu saja saya memiliki fase-fase jatuh
bangun di mana saya memang bergulat dengan bukan saja murid-murid saya, orang
tua murid, namun terlebih lagi dengan diri saya sendiri, Tuhan lah yang tahu
persis bagaimana saya pernah mengalami suatu fase terjebak di ‘lembah’ yang
kelam. Sungguh pun demikian, saya belajar bahwa sebagai seorang guru yang
selalu memotivasi anak-anak untuk terus maju dan tak mau menyerah atas
kegagalan, untuk terus melangkah di tengah segala perasaan yang berkecamuk
dalam jiwa. Tahun-tahun awal saya mengajar memang tidak berjalan mulus. Ada banyak
kekurangan di sana-sini, ada banyak keraguan di dalam hati apakah kelas yang
saya ajar akan berhasil ataukah sebaliknya?
Saya sungguh merasakan penyertaan Tuhan dalam perjalanan karier
saya. Sungguh adalah suatu kebanggaan sekaligus tanggung jawab bagi saya bahwasanya
saya memiliki kesempatan untuk belajar dan mengajar anak pada waktu yang hampir
bersamaan. Pada kesempatan ini, saya mau sedikit membagikan pelajaran apa yang
telah saya dapatkan selama saya mengajar selama ini. Ada beberapa hal yang
ingin saya bagikan.
Yang pertama tentang
kedewasaan. Seorang manusia dewasa memiliki ciri-ciri utama yakni mampu
menempatkan dirinya secara tepat dalam setiap situasi, baik dalam keadaan yang
baik dan buruk sekalipun. Menjadi seorang guru yang sukses mendidik anak,
bukanlah perkara membalik telapak tangan. Diperlukan kedewasaan yang cukup
untuk dapat mengarahkan dan mendidik anak-anak secara keseluruhan, namun bukan
hal itu saja, diperlukan juga suatu fleksibilitas untuk menyelami dunia
anak-anak tersebut yang penuh dengan cahaya antusiasme mereka yang rindu
mengenal dunia sekitar dan orang-orang di sekitar mereka. Ada kalanya mengajar
anak-anak bisa membuat kita seperti bekerja di dunia sirkus, di mana yang kita
latih adalah, maaf, satwa liar untuk pertunjukan. Ada saat di mana tantangan
mendidik mereka adalah mengatasi keliaran mereka sehingga yang dibutuhkan
bukanlah serangkaian aturan-aturan dan sanksinya. Waktu itu saya belajar suatu
hal yang berharga lagi, bahwa penanganan bagi keliaran anak-anak yang kelebihan
energi itu ternyata adalah sebuah kesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan
dan menumpahkan energi tersebut dengan permainan dan kegiatan khas anak-anak.
Jadi, apabila seorang anak yang tidak bisa berhenti berlari-lari di kelas tidak
dapat diperingati sekali atau dua kali, ada baiknya bila anak tersebut
diijinkan untuk keluar sejenak sekedar ‘membuang’ energi berlebih di tubuhnya. Hal
ini bisa jadi sebuah metode yang efektif untuk mengajar anak-anak yang cenderung
hiperaktif dan berlebih tenaganya. Guru yang dewasa di dalam kelas mengerti
betapa sulitnya mengatur moods yang baik dari dalam dirinya agar proses
pembelajaran yang efektif di kelas dapat terjadi walaupun itu berarti
mengesampingkan keadaan yang terjadi di luar kelas sana. Di mana, perasaan
kesal, khawatir, gundah, galau ada, di
situlah ia harus tetap berlaku dewasa agar anak-anak tidak turut merasakan
dampak dari perasaannya itu. Hal ini perlu diingat, bahwa sekalipun bersikap
dewasa menuntut adanya ‘penyangkalan diri’, namun bukan berarti menghilangkan
aspek kemanusiaan seorang guru. Jadi, seperti halnya orang tua yang baik tidak
menceritakan setiap hal yang terjadi pada anaknya kecuali hal tersebut
bermanfaat bagi sang anak, seorang guru patut menjaga sikap hati, perilaku, dan
tutur katanya di kelas sehingga anak-anak bisa meneladani sikap guru tersebut.
Juga seorang dapat disebut dewasa apabila ia telah mampu mengenali dirinya
sendiri dan mampu memaafkan dan meminta maaf pada orang lain. Ingatlah, guru
juga manusia… punya rasa, punya hati… Jangan ragu minta maaf kalau memang
diperlukan termasuk juga pada murid-murid kita.
Selanjutnya adalah tentang kesediaan untuk melayani. Menjadi
seorang guru anak-anak kecil memiliki suatu keunikan tersendiri di jajaran
profesi pendidik yang lain. Pelayanan kita terhadap anak-anak memang tidak
terbatas pada membagikan ilmu pengetahuan saja. Lalu kita mulai diperhadapkan
pada tanggung jawab moral di mana di kelas kita terdapat anak-anak yang belum
bisa memakai kaus kaki, sepatu, dan hal-hal lain. Wah, pasti berat sekali
rasanya! Memang betul, readers. :0 Ketika itu, pengalaman saya adalah begitu
seru kalau saya ceritakan sekarang, tetapi tidak pada waktu saya mengalaminya.
Tiba saatnya anak-anak kelas 1 SD yang saya ajar mengikuti kegiatan berenang.
(dummm..tssss) Kehebohan pun menyeruak dari ujung lorong kelas. Mereka membawa
perlengkapan renang mereka, lengkap dengan lunch bag dan botol air yang
menggantung di leher mereka. “Miss…. Miss ….. I think I forgot to bring my goggle
…”celoteh seorang anak. Satu hal yang muncul di otak saya yakni ingin
cepat-cepat menghabiskan hari itu. Kehebohan pun berlanjut pada waktu mereka
mandi setelah berenang. Ya… begitulah tugas seorang guru dan orang tua. Kira-kira
apapun jenjang usia anak yang kita didik, ada saja porsi di mana kita ditantang
untuk mengasihi mereka lebih dari ‘apa yang diminta’ oleh institusi pendidikan
kita. Oleh sebab itu, saya ingat ketika Yesus berkata, “Dan orang yang mau
menjadi yang pertama di antara kalian, harus menjadi hamba bagi semua.” (Mark
10:44 BIS)
Yang terakhir adalah keinginan untuk terus belajar. Seorang
guru yang telah berhenti belajar dapat diartikan sebagai seorang yang mendidik
tanpa pembaharuan dari disiplin ilmunya. Seperti lentera yang kehabisan bahan
bakarnya perlahan tapi pasti cahayanya semakin redup. Kecintaan seorang guru
terhadap subjek yang diajarnya dapat terpancar dari caranya menggali sebuah
materi baru yang berhubungan dengan subjeknya. Hanya dengan kehausan akan ilmu
pengetahuan yang sungguh dari sang guru maka murid-murid dapat meneguk dari sumber
air pengetahuan yang jernih. Sering kali
pada waktu senggang, saya menyempatkan membaca buku-buku yang berhubungan
dengan mengajar dan juga mempertajam keahlian saya dengan banyak bercengkrama
dengan orang-orang yang memang mumpuni di bidangnya. Bagi saya, mendengarkan,
bercengkrama dan bertukar pikiran dengan seorang yang memang ahli di bidangnya
merupakan kesempatan yang sangat baik untuk dapat mempelajari pola berpikirnya
dan seringkali dapat memperluas cara berpikir saya tentang dunia. Tentang
bagaimana seorang dapat menguasai ilmu di bidangnya merupakan kebesaran Tuhan
yang menciptakan manusia dengan keunikannya masing-masing.
Hal-hal yang sudah saya tuliskan ini adalah pelajaran yang
telah saya simpan selama ini. Adalah suatu kerinduan saya, bila suatu saat saya
bisa menulis buku tentang pembelajaran ini… Semoga bermanfaat.
Jika ada kebenaran dalam hati, aka nada keindahan dalam
karakter. Jika ada keindahan dalam karakter, akan ada harmoni dalam rumah. Jika
ada harmoni dalam rumah, aka nada keteraturan dalam negara. Jika ada
keteraturan dalam negara, akan ada damai di bumi. –pepatah kuno
Langganan:
Postingan (Atom)