Entri Populer

Rabu, 26 Februari 2014

Fl -y

FLY 


All this doubt

trying to work it out

could you lay it down

for now

it's good to think

but it's good to drink

from this living stream

so why


Why don't you fly

free your mind

to all this splendor

why don't you fly

to the Arms

that save


You can come

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEGkJglToicMfUKzbVMlC1PmSEwVqd-j-57IpvSBaECdKTWMTJRL3JhTt6WkGyvM8eZ5I4KT35WXGzJdwZ2NsTEcSaCt9agk_TzdGYhjcabJ4_obXi9f9t-G2Z6ZP8FmwA2nstqUeoFwYd/s692/FALLS.jpg

while your heart feels numb

you could just lie down

and rest


Or lift your eyes

to the open sky

we could come alive

and FLY 

 

-This song lyric is taken from Michael Gungor Band - Fly

Kamis, 06 Februari 2014

Nana korobi, ya oki.



Ada suatu pepatah yang saya sukai,yang berbunyi seperti ini:Nana korobi, ya oki.”

Sebuah filosofi Jepang yang juga memiliki suatu pandangan makna yang super yaitu: "Fall seven times, get up eight."

Siapa yang tidak pernah jatuh? Siapa yang selalu menang dan sukses di dunia ini?  Kita ambil contoh sederhana dari proses belajar bersepeda. Sekalipun kita diajarkan bersepeda roda dua secara baik oleh instruktur sebaik apapun, adalah sudah barang tentu, sebagai murid, kita berkesempatan hilang keseimbangan dan jatuh. Sakit? Pasti! Kapok? Itu pilihan…

Menyoroti cerita sukses seorang Bob Sadino dalam sebuah bidang wirausaha tidak serta merta berarti orang tersebut tak pernah gagal. Suatu kali ketika saya menonton acara di channel Metro TV, saya menonton pak Bob bercerita tentang pengalamannya berwirausaha yang penuh dengan jatuh bangun. 
See? Jatuh bangun adalah makanan orang yang ingin sukses.

Berkaca pada pengalaman pribadi, saya merupakan orang yang bukan tidak pernah gagal. Malah sebaliknya, saya sering kali harus menelan ‘pil pahit’ kegagalan sebelum akhirnya dapat sukses di dalam fase-fase tertentu dalam hidup saya. Agaknya pas apabila saya sedikit share pengalaman pribadi saya pada saat berkuliah di salah satu universitas Katolik unggulan di Jakarta.
Suatu kali saya mendaftarkan diri saya mengikuti program pertukaran pelajar ke negara tujuan Amerika Serikat. Persiapan yang dilakukan agaknya memakan waktu dan tenaga saya selama kurang lebih dua bulan. Saya sangat ingin pergi untuk belajar ke AS karena saya ingin menambah pengalaman saya ke sana. Melalui proses yang panjang untuk mengumpulkan dan melengkapi berkas-berkas dokumen yang diperlukan seperti surat rekomendasi dari dosen-dosen pengajar, sampai test bahasa yang harus dilalui membutuhkan pengorbanan yang besar bagi saya. Namun, harapan saya yang besar itu harus pupus karena saya tidak masuk seleksi tahap awal. Saya sungguh kecewa dan merasa gagal.
Kisah terjatuh namun bangkit lagi. (kayak lagu melayuuu… Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi.. hehe) Tapi saya belum menyerah, saya mencoba peruntungan saya di dalam ajang Putra-putri berprestasi mahasiswa dan masuk ke dalam 10 besar. Bangga sekali rasanya dapat mengharumkan nama keluarga dan juga almamater. Meskipun tidak menjadi pemenang pertama, saya sangat menghargai pengalaman tersebut. 

Kisah itu adalah sebagian kisah-kisah pahit-manis (bitter-sweet) dalam menyelesaikan Strata 1 saya di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Pada akhir tahun 2011, oleh kasih karunia Tuhan Yesus,saya menyelesaikan pendidikan saya di Atma Jaya dengan predikat magna-cumlaude. Dan mengapa saya katakan oleh kasih karunia-Nya? Sebab hanya 3 orang saja dari sekitar 200 lulusan dari FKIP yang mendapat penghargaan berupa cincin emas, namun menurut cerita dari Wakil Dekan yang pada saat itu menganugerahkan penghargaan tsb, diputuskanlah bahwa saya adalah salah seorang dari 3 orang yang beruntung tersebut. Katakanlah beruntung, karena ada pepatah kuno mengatakan bahwa sebenarnya keberuntungan adalah hasil karya tangan Tuhan yang ogah membubuhkan ‘tanda tangan-Nya’. Entah bagaimana ceritanya, meskipun ada empat orang lainnya yang memiliki IPK (indeks prestasi kumulatif) hampir setara dengan saya atau katakanlah lebih tinggi beberapa poin, tapi hasil musyawarah dewan pengajar dan dekan memutuskan bahwa saya pula lah yang berhak menerima penghargaan tersebut.
Demikian saya memandangnya, dalam setiap situasi yang saya hadapi, saya menganggapnya sebagai cara Tuhan menenun karya maha agung. Seperti halnya seorang penenun yang bekerja siang dan malam untuk menjadikan benang-benang terajut menjadi suatu kain tenun yang indah yang bernilai tinggi, dengan cara seperti itulah Tuhan mengerjakan apa yang sedang Ia perlu kerjakan di dalam hidup saya. Hari ini, saya baru sembuh dari sakit typhus dan jujur saja saya masih 3L (lemah, letih, lesu) … -_- 
Pengennya sih bobok2an terus, tapi udah hampir seminggu aja bedrest di rumah, hari ini saya ngantor. Menyemangati diri sendiri, ayoo Esther .. “Nana korobi, ya oki.” *nyeduhh tehh dulu ahh*

BERTULUS-KARYALAH



Bertulus-karyalah



Dentuman musik
Mencari tempat di hati ini
Kadang dalam hidup
Tidak mendapat tempat sedikit pun
Terlalu tertambat kepada kebisingan sekitar
Kadang tercipta dentuman hangat dari siul2 kecilmu
Terkadang dentuman itu berhenti
Tersentak oleh kemuraman hati
Masih bisakah kita jujur untuk bermusik?
Ataukah sudah mustahil untuk bernyanyi dari hati?
Apakah suatu hari kita mampu membawa melodi ini melampaui bumi?
Mereka bilang bernyanyilah dari hati
Tapi yang jujur dari hati membuahkan kontroversi
Malah yang berpura-pura terapresiasi…
Maukah kau mengucap syair tanpa memaknainya?
Sudah lupakah kau begitu banyak jiwa yang tersentuh oleh tulusnya aliran musikmu?
Menciptalah…
Berkaryalah…
Bernyanyilah…
Bukan untuk sebuah pujian… tapi…
Kebanggaan
Karena engkaulah maha karya sang Maestro
Yang mencipta dengan terampil tulus tak bercela

Selasa, 10 Desember 2013

SUCCEEDING WITH DIFFICULT PEOPLE



SUCCEEDING WITH DIFFICULT PEOPLE

People working at the bottom of an organization usually have no choice concerning whom they work with. As a result, they often have to work with difficult people. In contrast, people at the top almost never have to work with difficult people because they get to choose who they work with. If someone they work with becomes difficult, they often let that person go or move him or her out.

For leaders in the middle, the road is different. They have some choice in the matter, but not complete control. They may not be able to get rid of difficult people, but they can often avoid working with them. But good leaders – ones who learn to lead up, across, and down – find a way to succeed with people who are hard to work with. Why do they do it? Because it benefits the organization. How do they do it? They work at finding common ground and connect with them. And instead of putting these difficult people in their place, they try to put themselves in their place.

(articles by John C. Maxwell)

Senin, 11 November 2013

Mengajar untuk Belajar




Kemarin malam ketika pulang kantor, saya berkesempatan naik bus transjakarta menuju rumah. Alhasil perjalanan Daan Mogot-Sunter naik busway pun bisa dikatakan cukup melelahkan. Namun entah mengapa  dalam perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 3 jam tersebut, pikiran saya terfokus pada perjalanan hidup saya akhir-akhir ini. Sungguh pun melelahkan hari itu, saya mendapat suatu pengalaman sangat berharga hari ini. Sebagai informasi saja, sudah jalan 5 bulan saya ini bekerja  di salah satu sekolah unggulan ternama di Jakarta sebagai staff pengembangan pendidikan Bahasa Inggris. Sungguh adalah satu kesempatan yang baik di mana saya bisa belajar banyak sebagai seorang lulusan keguruan yang memiliki pengalaman mengajar anak-anak selama kurun waktu 7 tahun terhitung semenjak saya lulus SMA.




Dalam mengajar, tentu saja saya memiliki fase-fase jatuh bangun di mana saya memang bergulat dengan bukan saja murid-murid saya, orang tua murid, namun terlebih lagi dengan diri saya sendiri, Tuhan lah yang tahu persis bagaimana saya pernah mengalami suatu fase terjebak di ‘lembah’ yang kelam. Sungguh pun demikian, saya belajar bahwa sebagai seorang guru yang selalu memotivasi anak-anak untuk terus maju dan tak mau menyerah atas kegagalan, untuk terus melangkah di tengah segala perasaan yang berkecamuk dalam jiwa. Tahun-tahun awal saya mengajar memang tidak berjalan mulus. Ada banyak kekurangan di sana-sini, ada banyak keraguan di dalam hati apakah kelas yang saya ajar akan berhasil ataukah sebaliknya?

Saya sungguh merasakan penyertaan Tuhan dalam perjalanan karier saya. Sungguh adalah suatu kebanggaan sekaligus tanggung jawab bagi saya bahwasanya saya memiliki kesempatan untuk belajar dan mengajar anak pada waktu yang hampir bersamaan. Pada kesempatan ini, saya mau sedikit membagikan pelajaran apa yang telah saya dapatkan selama saya mengajar selama ini. Ada beberapa hal yang ingin saya bagikan.

Yang pertama tentang kedewasaan. Seorang manusia dewasa memiliki ciri-ciri utama yakni mampu menempatkan dirinya secara tepat dalam setiap situasi, baik dalam keadaan yang baik dan buruk sekalipun. Menjadi seorang guru yang sukses mendidik anak, bukanlah perkara membalik telapak tangan. Diperlukan kedewasaan yang cukup untuk dapat mengarahkan dan mendidik anak-anak secara keseluruhan, namun bukan hal itu saja, diperlukan juga suatu fleksibilitas untuk menyelami dunia anak-anak tersebut yang penuh dengan cahaya antusiasme mereka yang rindu mengenal dunia sekitar dan orang-orang di sekitar mereka. Ada kalanya mengajar anak-anak bisa membuat kita seperti bekerja di dunia sirkus, di mana yang kita latih adalah, maaf, satwa liar untuk pertunjukan. Ada saat di mana tantangan mendidik mereka adalah mengatasi keliaran mereka sehingga yang dibutuhkan bukanlah serangkaian aturan-aturan dan sanksinya. Waktu itu saya belajar suatu hal yang berharga lagi, bahwa penanganan bagi keliaran anak-anak yang kelebihan energi itu ternyata adalah sebuah kesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan dan menumpahkan energi tersebut dengan permainan dan kegiatan khas anak-anak. Jadi, apabila seorang anak yang tidak bisa berhenti berlari-lari di kelas tidak dapat diperingati sekali atau dua kali, ada baiknya bila anak tersebut diijinkan untuk keluar sejenak sekedar ‘membuang’ energi berlebih di tubuhnya. Hal ini bisa jadi sebuah metode yang efektif untuk mengajar anak-anak yang cenderung hiperaktif dan berlebih tenaganya. Guru yang dewasa di dalam kelas mengerti betapa sulitnya mengatur moods yang baik dari dalam dirinya agar proses pembelajaran yang efektif di kelas dapat terjadi walaupun itu berarti mengesampingkan keadaan yang terjadi di luar kelas sana. Di mana, perasaan kesal, khawatir, gundah, galau ada,  di situlah ia harus tetap berlaku dewasa agar anak-anak tidak turut merasakan dampak dari perasaannya itu. Hal ini perlu diingat, bahwa sekalipun bersikap dewasa menuntut adanya ‘penyangkalan diri’, namun bukan berarti menghilangkan aspek kemanusiaan seorang guru. Jadi, seperti halnya orang tua yang baik tidak menceritakan setiap hal yang terjadi pada anaknya kecuali hal tersebut bermanfaat bagi sang anak, seorang guru patut menjaga sikap hati, perilaku, dan tutur katanya di kelas sehingga anak-anak bisa meneladani sikap guru tersebut. Juga seorang dapat disebut dewasa apabila ia telah mampu mengenali dirinya sendiri dan mampu memaafkan dan meminta maaf pada orang lain. Ingatlah, guru juga manusia… punya rasa, punya hati… Jangan ragu minta maaf kalau memang diperlukan termasuk juga pada murid-murid kita.

Selanjutnya adalah tentang kesediaan untuk melayani. Menjadi seorang guru anak-anak kecil memiliki suatu keunikan tersendiri di jajaran profesi pendidik yang lain. Pelayanan kita terhadap anak-anak memang tidak terbatas pada membagikan ilmu pengetahuan saja. Lalu kita mulai diperhadapkan pada tanggung jawab moral di mana di kelas kita terdapat anak-anak yang belum bisa memakai kaus kaki, sepatu, dan hal-hal lain. Wah, pasti berat sekali rasanya! Memang betul, readers. :0 Ketika itu, pengalaman saya adalah begitu seru kalau saya ceritakan sekarang, tetapi tidak pada waktu saya mengalaminya. Tiba saatnya anak-anak kelas 1 SD yang saya ajar mengikuti kegiatan berenang. (dummm..tssss) Kehebohan pun menyeruak dari ujung lorong kelas. Mereka membawa perlengkapan renang mereka, lengkap dengan lunch bag dan botol air yang menggantung di leher mereka. “Miss…. Miss ….. I think I forgot to bring my goggle …”celoteh seorang anak. Satu hal yang muncul di otak saya yakni ingin cepat-cepat menghabiskan hari itu. Kehebohan pun berlanjut pada waktu mereka mandi setelah berenang. Ya… begitulah tugas seorang guru dan orang tua. Kira-kira apapun jenjang usia anak yang kita didik, ada saja porsi di mana kita ditantang untuk mengasihi mereka lebih dari ‘apa yang diminta’ oleh institusi pendidikan kita. Oleh sebab itu, saya ingat ketika Yesus berkata, “Dan orang yang mau menjadi yang pertama di antara kalian, harus menjadi hamba bagi semua.” (Mark 10:44 BIS)

Yang terakhir adalah keinginan untuk terus belajar. Seorang guru yang telah berhenti belajar dapat diartikan sebagai seorang yang mendidik tanpa pembaharuan dari disiplin ilmunya. Seperti lentera yang kehabisan bahan bakarnya perlahan tapi pasti cahayanya semakin redup. Kecintaan seorang guru terhadap subjek yang diajarnya dapat terpancar dari caranya menggali sebuah materi baru yang berhubungan dengan subjeknya. Hanya dengan kehausan akan ilmu pengetahuan yang sungguh dari sang guru maka murid-murid dapat meneguk dari sumber air pengetahuan yang jernih.  Sering kali pada waktu senggang, saya menyempatkan membaca buku-buku yang berhubungan dengan mengajar dan juga mempertajam keahlian saya dengan banyak bercengkrama dengan orang-orang yang memang mumpuni di bidangnya. Bagi saya, mendengarkan, bercengkrama dan bertukar pikiran dengan seorang yang memang ahli di bidangnya merupakan kesempatan yang sangat baik untuk dapat mempelajari pola berpikirnya dan seringkali dapat memperluas cara berpikir saya tentang dunia. Tentang bagaimana seorang dapat menguasai ilmu di bidangnya merupakan kebesaran Tuhan yang menciptakan manusia dengan keunikannya masing-masing.

Hal-hal yang sudah saya tuliskan ini adalah pelajaran yang telah saya simpan selama ini. Adalah suatu kerinduan saya, bila suatu saat saya bisa menulis buku tentang pembelajaran ini… Semoga bermanfaat.
Jika ada kebenaran dalam hati, aka nada keindahan dalam karakter. Jika ada keindahan dalam karakter, akan ada harmoni dalam rumah. Jika ada harmoni dalam rumah, aka nada keteraturan dalam negara. Jika ada keteraturan dalam negara, akan ada damai di bumi. –pepatah kuno