Kemarin malam ketika pulang kantor, saya berkesempatan naik
bus transjakarta menuju rumah. Alhasil perjalanan Daan Mogot-Sunter naik busway
pun bisa dikatakan cukup melelahkan. Namun entah mengapa dalam perjalanan yang memakan waktu kurang
lebih 3 jam tersebut, pikiran saya terfokus pada perjalanan hidup saya
akhir-akhir ini. Sungguh pun melelahkan hari itu, saya mendapat suatu pengalaman
sangat berharga hari ini. Sebagai informasi saja, sudah jalan 5 bulan saya ini
bekerja di salah satu sekolah unggulan
ternama di Jakarta sebagai staff pengembangan pendidikan Bahasa Inggris.
Sungguh adalah satu kesempatan yang baik di mana saya bisa belajar banyak
sebagai seorang lulusan keguruan yang memiliki pengalaman mengajar anak-anak
selama kurun waktu 7 tahun terhitung semenjak saya lulus SMA.
Dalam mengajar, tentu saja saya memiliki fase-fase jatuh
bangun di mana saya memang bergulat dengan bukan saja murid-murid saya, orang
tua murid, namun terlebih lagi dengan diri saya sendiri, Tuhan lah yang tahu
persis bagaimana saya pernah mengalami suatu fase terjebak di ‘lembah’ yang
kelam. Sungguh pun demikian, saya belajar bahwa sebagai seorang guru yang
selalu memotivasi anak-anak untuk terus maju dan tak mau menyerah atas
kegagalan, untuk terus melangkah di tengah segala perasaan yang berkecamuk
dalam jiwa. Tahun-tahun awal saya mengajar memang tidak berjalan mulus. Ada banyak
kekurangan di sana-sini, ada banyak keraguan di dalam hati apakah kelas yang
saya ajar akan berhasil ataukah sebaliknya?
Saya sungguh merasakan penyertaan Tuhan dalam perjalanan karier
saya. Sungguh adalah suatu kebanggaan sekaligus tanggung jawab bagi saya bahwasanya
saya memiliki kesempatan untuk belajar dan mengajar anak pada waktu yang hampir
bersamaan. Pada kesempatan ini, saya mau sedikit membagikan pelajaran apa yang
telah saya dapatkan selama saya mengajar selama ini. Ada beberapa hal yang
ingin saya bagikan.
Yang pertama tentang
kedewasaan. Seorang manusia dewasa memiliki ciri-ciri utama yakni mampu
menempatkan dirinya secara tepat dalam setiap situasi, baik dalam keadaan yang
baik dan buruk sekalipun. Menjadi seorang guru yang sukses mendidik anak,
bukanlah perkara membalik telapak tangan. Diperlukan kedewasaan yang cukup
untuk dapat mengarahkan dan mendidik anak-anak secara keseluruhan, namun bukan
hal itu saja, diperlukan juga suatu fleksibilitas untuk menyelami dunia
anak-anak tersebut yang penuh dengan cahaya antusiasme mereka yang rindu
mengenal dunia sekitar dan orang-orang di sekitar mereka. Ada kalanya mengajar
anak-anak bisa membuat kita seperti bekerja di dunia sirkus, di mana yang kita
latih adalah, maaf, satwa liar untuk pertunjukan. Ada saat di mana tantangan
mendidik mereka adalah mengatasi keliaran mereka sehingga yang dibutuhkan
bukanlah serangkaian aturan-aturan dan sanksinya. Waktu itu saya belajar suatu
hal yang berharga lagi, bahwa penanganan bagi keliaran anak-anak yang kelebihan
energi itu ternyata adalah sebuah kesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan
dan menumpahkan energi tersebut dengan permainan dan kegiatan khas anak-anak.
Jadi, apabila seorang anak yang tidak bisa berhenti berlari-lari di kelas tidak
dapat diperingati sekali atau dua kali, ada baiknya bila anak tersebut
diijinkan untuk keluar sejenak sekedar ‘membuang’ energi berlebih di tubuhnya. Hal
ini bisa jadi sebuah metode yang efektif untuk mengajar anak-anak yang cenderung
hiperaktif dan berlebih tenaganya. Guru yang dewasa di dalam kelas mengerti
betapa sulitnya mengatur moods yang baik dari dalam dirinya agar proses
pembelajaran yang efektif di kelas dapat terjadi walaupun itu berarti
mengesampingkan keadaan yang terjadi di luar kelas sana. Di mana, perasaan
kesal, khawatir, gundah, galau ada, di
situlah ia harus tetap berlaku dewasa agar anak-anak tidak turut merasakan
dampak dari perasaannya itu. Hal ini perlu diingat, bahwa sekalipun bersikap
dewasa menuntut adanya ‘penyangkalan diri’, namun bukan berarti menghilangkan
aspek kemanusiaan seorang guru. Jadi, seperti halnya orang tua yang baik tidak
menceritakan setiap hal yang terjadi pada anaknya kecuali hal tersebut
bermanfaat bagi sang anak, seorang guru patut menjaga sikap hati, perilaku, dan
tutur katanya di kelas sehingga anak-anak bisa meneladani sikap guru tersebut.
Juga seorang dapat disebut dewasa apabila ia telah mampu mengenali dirinya
sendiri dan mampu memaafkan dan meminta maaf pada orang lain. Ingatlah, guru
juga manusia… punya rasa, punya hati… Jangan ragu minta maaf kalau memang
diperlukan termasuk juga pada murid-murid kita.
Selanjutnya adalah tentang kesediaan untuk melayani. Menjadi
seorang guru anak-anak kecil memiliki suatu keunikan tersendiri di jajaran
profesi pendidik yang lain. Pelayanan kita terhadap anak-anak memang tidak
terbatas pada membagikan ilmu pengetahuan saja. Lalu kita mulai diperhadapkan
pada tanggung jawab moral di mana di kelas kita terdapat anak-anak yang belum
bisa memakai kaus kaki, sepatu, dan hal-hal lain. Wah, pasti berat sekali
rasanya! Memang betul, readers. :0 Ketika itu, pengalaman saya adalah begitu
seru kalau saya ceritakan sekarang, tetapi tidak pada waktu saya mengalaminya.
Tiba saatnya anak-anak kelas 1 SD yang saya ajar mengikuti kegiatan berenang.
(dummm..tssss) Kehebohan pun menyeruak dari ujung lorong kelas. Mereka membawa
perlengkapan renang mereka, lengkap dengan lunch bag dan botol air yang
menggantung di leher mereka. “Miss…. Miss ….. I think I forgot to bring my goggle
…”celoteh seorang anak. Satu hal yang muncul di otak saya yakni ingin
cepat-cepat menghabiskan hari itu. Kehebohan pun berlanjut pada waktu mereka
mandi setelah berenang. Ya… begitulah tugas seorang guru dan orang tua. Kira-kira
apapun jenjang usia anak yang kita didik, ada saja porsi di mana kita ditantang
untuk mengasihi mereka lebih dari ‘apa yang diminta’ oleh institusi pendidikan
kita. Oleh sebab itu, saya ingat ketika Yesus berkata, “Dan orang yang mau
menjadi yang pertama di antara kalian, harus menjadi hamba bagi semua.” (Mark
10:44 BIS)
Yang terakhir adalah keinginan untuk terus belajar. Seorang
guru yang telah berhenti belajar dapat diartikan sebagai seorang yang mendidik
tanpa pembaharuan dari disiplin ilmunya. Seperti lentera yang kehabisan bahan
bakarnya perlahan tapi pasti cahayanya semakin redup. Kecintaan seorang guru
terhadap subjek yang diajarnya dapat terpancar dari caranya menggali sebuah
materi baru yang berhubungan dengan subjeknya. Hanya dengan kehausan akan ilmu
pengetahuan yang sungguh dari sang guru maka murid-murid dapat meneguk dari sumber
air pengetahuan yang jernih. Sering kali
pada waktu senggang, saya menyempatkan membaca buku-buku yang berhubungan
dengan mengajar dan juga mempertajam keahlian saya dengan banyak bercengkrama
dengan orang-orang yang memang mumpuni di bidangnya. Bagi saya, mendengarkan,
bercengkrama dan bertukar pikiran dengan seorang yang memang ahli di bidangnya
merupakan kesempatan yang sangat baik untuk dapat mempelajari pola berpikirnya
dan seringkali dapat memperluas cara berpikir saya tentang dunia. Tentang
bagaimana seorang dapat menguasai ilmu di bidangnya merupakan kebesaran Tuhan
yang menciptakan manusia dengan keunikannya masing-masing.
Hal-hal yang sudah saya tuliskan ini adalah pelajaran yang
telah saya simpan selama ini. Adalah suatu kerinduan saya, bila suatu saat saya
bisa menulis buku tentang pembelajaran ini… Semoga bermanfaat.
Jika ada kebenaran dalam hati, aka nada keindahan dalam
karakter. Jika ada keindahan dalam karakter, akan ada harmoni dalam rumah. Jika
ada harmoni dalam rumah, aka nada keteraturan dalam negara. Jika ada
keteraturan dalam negara, akan ada damai di bumi. –pepatah kuno