Entri Populer

Senin, 11 November 2013

Mengajar untuk Belajar




Kemarin malam ketika pulang kantor, saya berkesempatan naik bus transjakarta menuju rumah. Alhasil perjalanan Daan Mogot-Sunter naik busway pun bisa dikatakan cukup melelahkan. Namun entah mengapa  dalam perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 3 jam tersebut, pikiran saya terfokus pada perjalanan hidup saya akhir-akhir ini. Sungguh pun melelahkan hari itu, saya mendapat suatu pengalaman sangat berharga hari ini. Sebagai informasi saja, sudah jalan 5 bulan saya ini bekerja  di salah satu sekolah unggulan ternama di Jakarta sebagai staff pengembangan pendidikan Bahasa Inggris. Sungguh adalah satu kesempatan yang baik di mana saya bisa belajar banyak sebagai seorang lulusan keguruan yang memiliki pengalaman mengajar anak-anak selama kurun waktu 7 tahun terhitung semenjak saya lulus SMA.




Dalam mengajar, tentu saja saya memiliki fase-fase jatuh bangun di mana saya memang bergulat dengan bukan saja murid-murid saya, orang tua murid, namun terlebih lagi dengan diri saya sendiri, Tuhan lah yang tahu persis bagaimana saya pernah mengalami suatu fase terjebak di ‘lembah’ yang kelam. Sungguh pun demikian, saya belajar bahwa sebagai seorang guru yang selalu memotivasi anak-anak untuk terus maju dan tak mau menyerah atas kegagalan, untuk terus melangkah di tengah segala perasaan yang berkecamuk dalam jiwa. Tahun-tahun awal saya mengajar memang tidak berjalan mulus. Ada banyak kekurangan di sana-sini, ada banyak keraguan di dalam hati apakah kelas yang saya ajar akan berhasil ataukah sebaliknya?

Saya sungguh merasakan penyertaan Tuhan dalam perjalanan karier saya. Sungguh adalah suatu kebanggaan sekaligus tanggung jawab bagi saya bahwasanya saya memiliki kesempatan untuk belajar dan mengajar anak pada waktu yang hampir bersamaan. Pada kesempatan ini, saya mau sedikit membagikan pelajaran apa yang telah saya dapatkan selama saya mengajar selama ini. Ada beberapa hal yang ingin saya bagikan.

Yang pertama tentang kedewasaan. Seorang manusia dewasa memiliki ciri-ciri utama yakni mampu menempatkan dirinya secara tepat dalam setiap situasi, baik dalam keadaan yang baik dan buruk sekalipun. Menjadi seorang guru yang sukses mendidik anak, bukanlah perkara membalik telapak tangan. Diperlukan kedewasaan yang cukup untuk dapat mengarahkan dan mendidik anak-anak secara keseluruhan, namun bukan hal itu saja, diperlukan juga suatu fleksibilitas untuk menyelami dunia anak-anak tersebut yang penuh dengan cahaya antusiasme mereka yang rindu mengenal dunia sekitar dan orang-orang di sekitar mereka. Ada kalanya mengajar anak-anak bisa membuat kita seperti bekerja di dunia sirkus, di mana yang kita latih adalah, maaf, satwa liar untuk pertunjukan. Ada saat di mana tantangan mendidik mereka adalah mengatasi keliaran mereka sehingga yang dibutuhkan bukanlah serangkaian aturan-aturan dan sanksinya. Waktu itu saya belajar suatu hal yang berharga lagi, bahwa penanganan bagi keliaran anak-anak yang kelebihan energi itu ternyata adalah sebuah kesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan dan menumpahkan energi tersebut dengan permainan dan kegiatan khas anak-anak. Jadi, apabila seorang anak yang tidak bisa berhenti berlari-lari di kelas tidak dapat diperingati sekali atau dua kali, ada baiknya bila anak tersebut diijinkan untuk keluar sejenak sekedar ‘membuang’ energi berlebih di tubuhnya. Hal ini bisa jadi sebuah metode yang efektif untuk mengajar anak-anak yang cenderung hiperaktif dan berlebih tenaganya. Guru yang dewasa di dalam kelas mengerti betapa sulitnya mengatur moods yang baik dari dalam dirinya agar proses pembelajaran yang efektif di kelas dapat terjadi walaupun itu berarti mengesampingkan keadaan yang terjadi di luar kelas sana. Di mana, perasaan kesal, khawatir, gundah, galau ada,  di situlah ia harus tetap berlaku dewasa agar anak-anak tidak turut merasakan dampak dari perasaannya itu. Hal ini perlu diingat, bahwa sekalipun bersikap dewasa menuntut adanya ‘penyangkalan diri’, namun bukan berarti menghilangkan aspek kemanusiaan seorang guru. Jadi, seperti halnya orang tua yang baik tidak menceritakan setiap hal yang terjadi pada anaknya kecuali hal tersebut bermanfaat bagi sang anak, seorang guru patut menjaga sikap hati, perilaku, dan tutur katanya di kelas sehingga anak-anak bisa meneladani sikap guru tersebut. Juga seorang dapat disebut dewasa apabila ia telah mampu mengenali dirinya sendiri dan mampu memaafkan dan meminta maaf pada orang lain. Ingatlah, guru juga manusia… punya rasa, punya hati… Jangan ragu minta maaf kalau memang diperlukan termasuk juga pada murid-murid kita.

Selanjutnya adalah tentang kesediaan untuk melayani. Menjadi seorang guru anak-anak kecil memiliki suatu keunikan tersendiri di jajaran profesi pendidik yang lain. Pelayanan kita terhadap anak-anak memang tidak terbatas pada membagikan ilmu pengetahuan saja. Lalu kita mulai diperhadapkan pada tanggung jawab moral di mana di kelas kita terdapat anak-anak yang belum bisa memakai kaus kaki, sepatu, dan hal-hal lain. Wah, pasti berat sekali rasanya! Memang betul, readers. :0 Ketika itu, pengalaman saya adalah begitu seru kalau saya ceritakan sekarang, tetapi tidak pada waktu saya mengalaminya. Tiba saatnya anak-anak kelas 1 SD yang saya ajar mengikuti kegiatan berenang. (dummm..tssss) Kehebohan pun menyeruak dari ujung lorong kelas. Mereka membawa perlengkapan renang mereka, lengkap dengan lunch bag dan botol air yang menggantung di leher mereka. “Miss…. Miss ….. I think I forgot to bring my goggle …”celoteh seorang anak. Satu hal yang muncul di otak saya yakni ingin cepat-cepat menghabiskan hari itu. Kehebohan pun berlanjut pada waktu mereka mandi setelah berenang. Ya… begitulah tugas seorang guru dan orang tua. Kira-kira apapun jenjang usia anak yang kita didik, ada saja porsi di mana kita ditantang untuk mengasihi mereka lebih dari ‘apa yang diminta’ oleh institusi pendidikan kita. Oleh sebab itu, saya ingat ketika Yesus berkata, “Dan orang yang mau menjadi yang pertama di antara kalian, harus menjadi hamba bagi semua.” (Mark 10:44 BIS)

Yang terakhir adalah keinginan untuk terus belajar. Seorang guru yang telah berhenti belajar dapat diartikan sebagai seorang yang mendidik tanpa pembaharuan dari disiplin ilmunya. Seperti lentera yang kehabisan bahan bakarnya perlahan tapi pasti cahayanya semakin redup. Kecintaan seorang guru terhadap subjek yang diajarnya dapat terpancar dari caranya menggali sebuah materi baru yang berhubungan dengan subjeknya. Hanya dengan kehausan akan ilmu pengetahuan yang sungguh dari sang guru maka murid-murid dapat meneguk dari sumber air pengetahuan yang jernih.  Sering kali pada waktu senggang, saya menyempatkan membaca buku-buku yang berhubungan dengan mengajar dan juga mempertajam keahlian saya dengan banyak bercengkrama dengan orang-orang yang memang mumpuni di bidangnya. Bagi saya, mendengarkan, bercengkrama dan bertukar pikiran dengan seorang yang memang ahli di bidangnya merupakan kesempatan yang sangat baik untuk dapat mempelajari pola berpikirnya dan seringkali dapat memperluas cara berpikir saya tentang dunia. Tentang bagaimana seorang dapat menguasai ilmu di bidangnya merupakan kebesaran Tuhan yang menciptakan manusia dengan keunikannya masing-masing.

Hal-hal yang sudah saya tuliskan ini adalah pelajaran yang telah saya simpan selama ini. Adalah suatu kerinduan saya, bila suatu saat saya bisa menulis buku tentang pembelajaran ini… Semoga bermanfaat.
Jika ada kebenaran dalam hati, aka nada keindahan dalam karakter. Jika ada keindahan dalam karakter, akan ada harmoni dalam rumah. Jika ada harmoni dalam rumah, aka nada keteraturan dalam negara. Jika ada keteraturan dalam negara, akan ada damai di bumi. –pepatah kuno